Dicari, Gubernur Penyelamat Lingkungan!

Meskipun Pemilukada bisa dipastikan mundur—akibat pertikaian segitiga : KIP, DPRA, dan gubernur Aceh—kita sudah dapat menebak kira-kira siapa yang akan muncul sebagai gubernur ke depan. Dari pilihan yang beredar, peran mesin partai, dan kalkulasi politik di atas kertas hanya ada sedikit nama yang tersedia: Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, dan Zaini Abdullah. Suka tidak suka labuh pemerintahan Aceh akan dinakhodai oleh satu dari tiga orang ini.

Namun ketiga figur ini, sampai hari ini belum ada yang memunculkan wacana komprehensif terkait visi pembangunan Aceh ke depan. Komentar yang muncul lebih banyak menangkis wacana dari lawan politik dan bukan membuat renungan pembangunan yang bisa direfleksikan bersama.

Bagi saya dan juga sebagian masyarakat yang peduli atas nasib tanoh indatu ini, tidak ada mimpi agar Aceh bisa meniru Jakarta, Jawa Timur, atau Kepulauan Riau, yang harus menggenjot kapital, sosial, dan lingkungan agar bisa menjadi gegapolis, pioner industrialisasi, dan neo-globalisasi pembangunan.

Bagi saya, gubernur ke depan cukup yang bisa memadukan konsep pembangunan yang bertumpu pada peningkatan kualitas agroindustri, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, dan konservasi lingkungan. Jika itu bisa dilakukan, ia telah dielu-elukan sebagai gubernur yang memberikan warisan fundamental bagi Aceh ke depan.

Aceh Green atau Aceh Greedy?
Memang sejak 2006 atau satu beberapa bulan setelah Irwandi-Nazar berkuasa, ada keinsyafan untuk melakukan reorientasi pembangunan, dari developmentalisme ke arah konservasisme. Orientasi pembangunan itu dikenal dengan istilah Aceh Green atau Aceh hijau yang penuh keteduhan dan kesejukan. Setahun kemudian Irwandi menambal gagasannya melalui Instruksi Gubernur No.5/2007 tentang moratorium logging atau penghentian penebangan hutan. Sikap Irwandi ini menjadi langkah populis di mana-mana bahkan di luar negeri, karena Aceh memang sedang berada di ambang kebangkrutan lingkungan hidup.

Langkah ini didasarkan pada memory patolitik (latar belakang) kondisi lingkungan Aceh pasca-tsunami. Seperti diketahui, pembangunan Aceh pasca-tsunami adalah biang utama rusaknya hutan-hutan Aceh. Dalam cetak biru BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) pada 2005 jumlah rumah yang harus dibangun sebanyak 95 ribu rumah, namun di akhir masa tugas pada 2009 malah membesar hingga 145 ribu.

Tawaran untuk impor kayu dari Australia dan Amerika Serikat ditolak, karena pasokan kayu sebanyak 1,7 juta ton juta masih bisa dipenuhi dari hutan-hutan Sumatera. Dengan logika percepatan rekonstruksi, BRR jelas tidak sempat memikirkan skema konservasi dan muncullah buah-buah petaka seperti ini. Menurut Walhi Aceh, degradasi luas hutan di Aceh saat ini mencapai 20.796 hektar per tahun.

Di dunia internasional, gagasan Irwandi ini bersambut-cinta dengan pelbagai program penyelamatan hutan. Salah satunya adalah tawaran dari Merrill Lynch Internasional dan Australian Carbon Conservation untuk konservasi dan moratorium logging, dengan kompensasi Rp90 miliar untuk rencana sepuluh tahun. Sasaran proyek ini adalah hutan Ulu Masen, salah satu hutan yang dianalisis masih rapat.

Namun sayangnya aneka regulasi ini tidak membias. Ada banyak hal yang kontradiktif dalam pelaksanaannya (contradictio in terminis). Di masa pemerintahan politik sekarang bahkan kita kenal sebagai pemerintahan penuh tambang. Sejak tahun 2007 telah ada 120 izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan di seluruh Aceh, yang mengeksploitasi aneka sumber daya alam Aceh. Dari mulai bijih besi, emas, tembaga, galena, hingga batubara.

Para pemegang usaha tambang ini tidak sepenuhnya asing. Hampir sama besar peran pengusaha luar/asing dan “pengusaha Aceh” atau awak nanggroe. Dan anehnya, lebih separuh IUP itu keluar setelah ada katabeletje gubernur, termasuk sebuah perusahaan yang sedang bermasalah saat ini, Lhoong Setia Mining (LSM) yang memiliki izin eksploitasi hingga 2027! Dengan realitas ini kita melihat bahwa idealisme Aceh yang hijau harus kalah dengan pragmatisme Aceh yang tamak (Aceh greedy). Tak ada bahasa lain untuk mengungkapkan bahwa pertambangan menjadi penyumbang terbesar degradasi lingkungan, penyebab banjir di saat musim penghujan dan penyebab kering-kerontang di musim kemarau. Pertambangan seperti ini sedikit sekali menyumbang PAD, karena sebagian besar keuntungan masuk ke kantong-kantong pengusaha, pejabat, dan uang keamanan.

Ini belum lagi skenario moratorium yang tidak sejalan-kata dengan praktik di lapangan. Di tengah nyaringnya suara gubernur dan inspeksi mendadak menangkap pencuri kelas teri, ada lelehan dasar gunung es pencurian kayu kelas kakap yang tidak tertangkap lensa gubernur namun terekam pengalaman masyarakat. Sebelum banjir bandang di Tangse Aceh Pidie dan Trumon Aceh Selatan, masyarakat di daerah ini sudah nyaring berteriak pencurian kayu, tapi tidak digubris. Tangse bahkan kata yang tepat untuk menyebut sebuah ironi. Daerah percontohan carbon trade karena masuk dalam wilayah hutan Ulu Masen ini malah luluh lantak beberapa bulan lalu oleh banjir bandang. Biaya rehabilitasi dan rekonstruksi Tangse memerlukan Rp607 miliar. Harga yang tidak sepadan dengan harga kayu yang ditebang.

Satu Kata dan Perbuatan
Kiranya kita memerlukan sosok gubernur yang lebih konsisten ke depan. Pelbagai prahara lingkungan saat ini telah mengarah pada pelecehan hak sosial-budaya masyarakat. Kita perlu gubernur yang berani mengatakan “tidak” pada setiap upaya perusakan lingkungan dan menolak uang haram itu menjadi bagian dari investasi pribadi dan daerah. Peningkatan PAD memang menjadi usaha setiap pemimpin daerah, namun tidak dengan menghalalkan segala cara, termasuk membuat luka pada lingkungan.

Kita sesungguhnya memerlukan gubernur yang bisa membuat regulasi yang integratif dan pro-konservasi lingkungan. Seharusnya Irwandi saat ini mendorong hadirnya sistem monitoring dan evaluasi independen atas program moratorium logging, agar tidak bertumpu padanya semata. Padahal perlu pendapat berbeda (dissenting opinion), yang mengatakan bahwa kebijakan saat ini hanya jalan di tempat dan belum menunjukkan progresivitasnya.

Kita rindu seorang gubernur yang sederhana, yang lebih mengedepankan kerja untuk menyelamatkan setiap meter tanah Aceh yang masih lestari dari perambahan dan eksploitasi tak patut dan mengabaikan pertemanan jika hanya ingin memproyekkan Aceh. Mimpi kita adalah gubernur yang tidak hanya kampanye di media massa, tapi bekerja dan mempersiapkan tim kerja yang sevisi dan seidealis dengannya.

Jika ada inilah calon gubernur ideal, yaitu seorang yang penuh totalitas mengabdi dan berjiwa nasionalisme, yang berupaya sekeras mungkin mempertahankan tanah, air, dan udara dari bujuk rayu globalisasi ekonomi yang saat ini semakin ganas saja. Dan jangan main-main dengan globalisasi ekonomi! Ketika keran eksploitasi dibuka lebar, hanya dalam rentang bulan madu, hutan Aceh bisa ditelan sebulat-bulatnya. Tak bersisa bagi anak cucu kita.

Penulis : Teuku Kemal Fasya
Antropolog Aceh.

Sumber : Harian Aceh

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2010-2011 UMPAL All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.